Kamis, 21 April 2011

MENGAPA ENGKAU MENDUAKANKU



Diposkan oleh andhika.

gue pernah baca di sebuah tulisan ada lelaki yang sangat mencintai seorang wanita , ketika lelaki itu mengungkapkan isi hatinya kepada seorang yang di cintainya, sang wanita berkata "aku juga mencintaimu tapi q takut kau meninggalkan ku seperti lelaki lainya yang sebelumnya pernah ku cintai ", maka pria itu berkata "aku mencintaimu bukan untuk meninggalkan mu".dan sang wanita pun menerimanya dengan rasa sayang, seiring waktu yang berjalan mereka saling mencintai, hingga pada suatu saat.........
pria ini menemukan sesuatu yang aneh pada sifat kekasihnya yang berbeda, dan ia pun memukan sebuah tulisan yang membuat nya kecewa, tulisan itu di tulis oleh kekasihnya yang berisi bahwa ia sangat mencintai seseorang dan orang itu bukan dirinya, seiring waktu berputar perhatian kekasihnya makin hilang ketika ia sangat mencintai kekasihnya, dan ketika ia tau bahwa kekasihnya pergi dengan orang lain yang di cintainya ketika ia ingin besamanya, ia mencoba mempertahankan hubungan mereka dan ia mencoba memberikan perhatian lebih kepada kekasihnya tapi semakin ia memberikan perhatianya semakin itu pula kekasinya menyayangi orang lain, dan pada suatu hari di taman yang sejuk di tengah keramaian kota, ia bertanya kepada kekasihnya, "kau memlih aku atau Dirinya? " kekasihnya pun menjawab"aku mencintai mu tapi cinta ku pada dirinya lebih besar dari cintaku pada mu ", seakan petir menyambar pada hati sang lelaki dan kekasihnya menjawab "aku ingin kau seperti dulu ketika kita bersahabat" maka bertambah pedih lah hati lelaki itu, ketika rasa cintai nya bertambah tapi wanita itu mencintai orang lain yang ternyata dulu pernah hadir dalam hatinya dan bersemi kembali, hancurlah hati lelaki itu rasa sedih rasa sayang nya dan rasa kesal hadir silih berganti kedalam hatinya, dia mengingat ketika ia mengunkapkan perasaanya kepada wanita itu. ia ingat bahwa wanita berkata bahwa ia takut ditinggal oleh nya tapi kini wanita itulah yang meninggalkan nya, ketika lelaki ini sangat mencintai dan menyayangi nya.

Jumat, 28 Januari 2011

ANAK YANG BERBAKTI KEPADA ORANG TUA



Di sebuah kota di California, tinggal seorang anak laki-laki berusia tujuh tahun yang bernama Luke. Luke gemar bermain bisbol. Ia bermain pada sebuah tim bisbol di kotanya yang bernama Little League. Luke bukanlah seorang pemain yang hebat. Pada setiap pertandingan, ia lebih banyak menghabiskan waktunya di kursi pemain cadangan. Akan tetapi, ibunya selalu hadir di setiap pertandingan untuk bersorak dan memberikan semangat saat Luke dapat memukul bola maupun tidak.

Kehidupan Sherri Collins, ibu Luke, sangat tidak mudah. Ia menikah dengan kekasih hatinya saat masih kuliah. Kehidupan mereka berdua setelah pernikahan berjalan seperti cerita dalam buku-buku roman. Namun, keadaan itu hanya berlangsung sampai pada musim dingin saat Luke berusia tiga tahun. Pada musim dingin, di jalan yang berlapis es, suami Sherri meninggal karena mobil yang ditumpanginya bertabrakan dengan mobil yang datang dari arah berlawanan. Saat itu, ia dalam perjalanan pulang dari pekerjaan paruh waktu yang biasa dilakukannya pada malam hari.

"Aku tidak akan menikah lagi," kata Sherri kepada ibunya. "Tidak ada yang dapat mencintaiku seperti dia". "Kau tidak perlu meyakinkanku," sahut ibunya sambil tersenyum. Ia adalah seorang janda dan selalu memberikan nasihat yang dapat membuat Sherri merasa nyaman. "Dalam hidup ini, ada seseorang yang hanya memiliki satu orang saja yang sangat istimewa bagi dirinya dan tidak ingin terpisahkan untuk selama-lamanya. Namun jika salah satu dari mereka pergi, akan lebih baik bagi yang ditinggalkan untuk tetap sendiri daripada ia memaksakan mencari penggantinya."

Sherri sangat bersyukur bahwa ia tidak sendirian. Ibunya pindah untuk tinggal bersamanya. Bersama-sama, mereka berdua merawat Luke. Apapun masalah yang dihadapi anaknya, Sherri selalu memberikan dukungan sehingga Luke akan selalu bersikap optimis. Setelah Luke kehilangan seorang ayah, ibunya juga selalu berusaha menjadi seorang ayah bagi Luke.

Pertandingan demi pertandingan, minggu demi minggu, Sherri selalu datang dan bersorak-sorai untuk memberikan dukungan kepada Luke, meskipun ia hanya bermain beberapa menit saja. Suatu hari, Luke datang ke pertandingan seorang diri. "Pelatih", panggilnya. "Bisakah aku bermain dalam pertandingan ini sekarang? Ini sangat penting bagiku. Aku mohon?"

Pelatih mempertimbangkan keinginan Luke. Luke masih kurang dapat bekerja sama antar pemain. Namun dalam pertandingan sebelumnya, Luke berhasil memukul bola dan mengayunkan tongkatnya searah dengan arah datangnya bola. Pelatih kagum tentang kesabaran dan sportivitas Luke, dan Luke tampak berlatih ekstra keras dalam beberapa hari ini.

"Tentu," jawabnya sambil mengangkat bahu, kemudian ditariknya topi merah Luke. "Kamu dapat bermain hari ini. Sekarang, lakukan pemanasan dahulu." Hati Luke bergetar saat ia diperbolehkan untuk bermain. Sore itu, ia bermain dengan sepenuh hatinya. Ia berhasil melakukan home run dan mencetak dua single. Ia pun berhasil menangkap bola yang sedang melayang sehingga membuat timnya berhasil memenangkan pertandingan.

Tentu saja pelatih sangat kagum melihatnya. Ia belum pernah melihat Luke bermain sebaik itu. Setelah pertandingan, pelatih menarik Luke ke pinggir lapangan. "Pertandingan yang sangat mengagumkan," katanya kepada Luke. "Aku tidak pernah melihatmu bermain sebaik sekarang ini sebelumnya. Apa yang membuatmu jadi begini?"

Luke tersenyum dan pelatih melihat kedua mata anak itu mulai penuh oleh air mata kebahagiaan. Luke menangis tersedu-sedu. Sambil sesenggukan ia berkata, "Pelatih, ayahku sudah lama sekali meninggal dalam sebuah kecelakaan mobil. Ibuku sangat sedih. Ia buta dan tidak dapat berjalan dengan baik akibat kecelakaan itu. Minggu lalu... Ibuku meninggal." Luke kembali menangis.

Kemudian Luke menghapus air matanya, dan melanjutkan ceritanya dengan terbata-bata, "Hari ini... hari ini adalah pertama kalinya kedua orangtuaku dari surga datang pada pertandingan ini untuk bersama-sama melihatku bermain. Dan aku tentu saja tidak akan mengecewakan mereka...". Luke kembali menangis terisak-isak.

Sang pelatih sadar bahwa ia telah membuat keputusan yang tepat dengan mengizinkan Luke bermain sebagai pemain utama hari ini. Sang pelatih yang berkepribadian sekuat baja, tertegun beberapa saat. Ia tidak mampu mengucapkan sepatah katapun untuk menenangkan Luke yang masih menangis. Tiba-tiba, baja itu meleleh. Sang pelatih tidak mampu menahan perasaannya sendiri, air mata mengalir dari kedua matanya, bukan sebagai seorang pelatih, tetapi sebagai seorang anak.

Sang pelatih sangat tergugah dengan cerita Luke. Ia sadar bahwa dalam hal ini, ia belajar banyak dari Luke. Bahkan seorang anak berusia 7 tahun berusaha melakukan yang terbaik untuk kebahagiaan orangtuanya, walaupun ayah dan ibunya sudah pergi selamanya. Luke baru saja kehilangan seorang Ibu yang begitu mencintainya.

Sang pelatih sadar, bahwa ia beruntung ayah dan ibunya masih ada. Mulai saat itu, ia berusaha melakukan yang terbaik untuk kedua orangtuanya, membahagiakan mereka, membagikan lebih banyak cinta dan kasih untuk mereka. Dia menyadari bahwa waktu sangat berharga, atau ia akan menyesal seumur hidupnya.

Hikmah yang dapat kita renungkan dari kisah Luke yang HANYA berusia 7 TAHUN :

Mulai detik ini, lakukanlah yang terbaik untuk membahagiakan ayah dan ibu kita

Sumber: Gifts From The Heart for Women - Karen Kingsbury

Selasa, 18 Januari 2011

Aku Ingin Mencintaimu Dengan Sederhana




Penulis : Inayati
Aku memandang kalender yang terletak di meja dengan kesal. Sabtu, 30 Maret 2002, hari ulang tahun perkawinan kami yang ketiga. Dan untuk ketiga kalinya pula Aa’ lupa. Ulang tahun pertama, Aa’ lupa karena harus rapat dengan direksi untuk menyelesaikan beberapa masalah keuangan perusahaan. Sebagai Direktur keuangan, Aa’ memang berkewajiban menyelesaikan masalah tersebut. Baiklah, aku maklum. Persoalan saat itu memang lumayan pelik.
Ulang tahun kedua, Aa’ harus keluar kota untuk melakukan presentasi. Kesibukannya membuatnya lupa. Dan setelah minta maaf, waktu aku menyatakan kekesalanku, dengan kalem ia menyahut,” Dik, toh aku sudah membuktikan cintaku sepanjang tahun. Hari itu tidak dirayakan kan tidak apa-apa. Cinta kan tidak butuh upacara…”
Sekarang, pagi-pagi ia sudah pamit ke kantor karena harus menyiapkan beberapa dokumen rapat. Ia pamit saat aku berada di kamar mandi. Aku memang sengaja tidak mengingatkannya tentang ulang tahun perkawinan kami. Aku ingin mengujinya, apakah ia ingat atau tidak kali ini. Nyatanya? Aku menarik napas panjang.
Heran, apa sih susahnya mengingat hari ulang tahun perkawinan sendiri? Aku mendengus kesal. Aa’ memang berbeda dengan aku. Ia kalem dan tidak ekspresif, apalagi romantis. Maka, tidak pernah ada bunga pada momen-momen istimewa atau puisi yang dituliskan di selembar kertas merah muda seperti yang sering kubayangkan saat sebelum aku menikah.
Sedangkan aku, ekspresif dan romantis. Aku selalu memberinya hadiah dengan kata-kata manis setiap hari ulang tahunnya. Aku juga tidak lupa mengucapkan berpuluh kali kata I love you setiap minggu. Mengirim pesan, bahkan puisi lewat sms saat ia keluar kota. Pokoknya, bagiku cinta harus diekspresikan dengan jelas. Karena kejelasan juga bagian dari cinta.
Aku tahu, kalau aku mencintai Aa’, aku harus menerimanya apa adanya. Tetapi, masak sih orang tidak mau berubah dan belajar? Bukankah aku sudah mengajarinya untuk bersikap lebih romantis? Ah, pokoknya aku kesal titik. Dan semua menjadi tidak menyenangkan bagiku. Aku uring-uringan. Aa’ jadi benar-benar menyebalkan di mataku. Aku mulai menghitung-hitung waktu dan perhatian yang diberikannya kepadaku dalam tiga tahun perkawinan kami. Tidak ada akhir minggu yang santai. Jarang sekali kami sempat pergi berdua untuk makan malam di luar. Waktu luang biasanya dihabiskannya untuk tidur sepanjang hari. Jadilah aku manyun sendiri hampir setiap hari minggu dan cuma bisa memandangnya mendengkur dengan manis di tempat tidur.
Rasa kesalku semakin menjadi. Apalagi, hubungan kami seminggu ini memang sedang tidak baik. Kami berdua sama-sama letih. Pekerjaan yang bertumpuk di tempat tugas kami masing-masing membuat kami bertemu di rumah dalam keadaan sama-sama letih dan mudah tersinggung satu sama lain. Jadilah, beberapa kali kami bertengkar minggu ini.
Sebenarnya, hari ini aku sudah mengosongkan semua jadual kegiatanku. Aku ingin berdua saja dengannya hari ini dan melakukan berbagai hal menyenangkan. Mestinya, Sabtu ini ia libur. Tetapi, begitulah Aa’. Sulit sekali baginya meninggalkan pekerjaannya, bahkan pada akhir pekan seperti ini. Mungkin, karena kami belum mempunyai anak. Sehingga ia tidak merasa perlu untuk meluangkan waktu pada akhir pekan seperti ini.
”Hen, kamu yakin mau menerima lamaran A’ Ridwan?” Diah sahabatku menatapku heran. ”Kakakku itu enggak romantis, lho. Tidak seperti suami romantis yang sering kau bayangkan. Dia itu tipe laki-laki serius yang hobinya bekerja keras. Baik sih, soleh, setia… Tapi enggak humoris. Pokoknya, hidup sama dia itu datar. Rutin dan membosankan. Isinya cuma kerja, kerja dan kerja…” Diah menyambung panjang lebar. Aku cuma senyum-senyum saja saat itu. Aa’ memang menanyakan kesediaanku untuk menerima lamaranku lewat Diah.
”Kamu kok gitu, sih? Enggak senang ya kalau aku jadi kakak iparmu?” tanyaku sambil cemberut. Diah tertawa melihatku. ”Yah, yang seperti ini mah tidak akan dilayani. Paling ditinggal pergi sama A’ Ridwan.” Diah tertawa geli. ”Kamu belum tahu kakakku, sih!” Tetapi, apapun kata Diah, aku telah bertekad untuk menerima lamaran Aa’. Aku yakin kami bisa saling menyesuaikan diri. Toh ia laki-laki yang baik. Itu sudah lebih dari cukup buatku.
Minggu-minggu pertama setelah perkawinan kami tidak banyak masalah berarti. Seperti layaknya pengantin baru, Aa’ berusaha romantis. Dan aku senang. Tetapi, semua berakhir saat masa cutinya berakhir. Ia segera berkutat dengan segala kesibukannya, tujuh hari dalam seminggu. Hampir tidak ada waktu yang tersisa untukku. Ceritaku yang antusias sering hanya ditanggapinya dengan ehm, oh, begitu ya… Itupun sambil terkantuk-kantuk memeluk guling. Dan, aku yang telah berjam-jam menunggunya untuk bercerita lantas kehilangan selera untuk melanjutkan cerita.
Begitulah… aku berusaha mengerti dan menerimanya. Tetapi pagi ini, kekesalanku kepadanya benar-benar mencapai puncaknya. Aku izin ke rumah ibu. Kukirim sms singkat kepadanya. Kutunggu. Satu jam kemudian baru kuterima jawabannya. Maaf, aku sedang rapat. Hati-hati. Salam untuk Ibu. Tuh, kan. Lihat. Bahkan ia membutuhkan waktu satu jam untuk membalas smsku. Rapat, presentasi, laporan keuangan, itulah saingan yang merebut perhatian suamiku.
Aku langsung masuk ke bekas kamarku yang sekarang ditempati Riri adikku. Kuhempaskan tubuhku dengan kesal. Aku baru saja akan memejamkan mataku saat samar-samar kudengar Ibu mengetuk pintu. Aku bangkit dengan malas.
”Kenapa Hen? Ada masalah dengan Ridwan?” Ibu membuka percakapan tanpa basa-basi. Aku mengangguk. Ibu memang tidak pernah bisa dibohongi. Ia selalu berhasil menebak dengan jitu.
Walau awalnya tersendat, akhirnya aku bercerita juga kepada Ibu. Mataku berkaca-kaca. Aku menumpahkan kekesalanku kepada Ibu. Ibu tersenyum mendengar ceritaku. Ia mengusap rambutku. ”Hen, mungkin semua ini salah Ibu dan Bapak yang terlalu memanjakan kamu. Sehingga kamu menjadi terganggu dengan sikap suamimu. Cobalah, Hen pikirkan baik-baik. Apa kekurangan Ridwan? Ia suami yang baik. Setia, jujur dan pekerja keras. Ridwan itu tidak pernah kasar sama kamu, rajin ibadah. Ia juga baik dan hormat kepada Ibu dan Bapak. Tidak semua suami seperti dia, Hen. Banyak orang yang dizholimi suaminya. Na’udzubillah!” Kata Ibu.
Aku terdiam. Yah, betul sih apa yang dikatakan Ibu. ”Tapi Bu, dia itu keterlaluan sekali. Masak Ulang tahun perkawinan sendiri tiga kali lupa. Lagi pula, dia itu sama sekali tidak punya waktu buat aku. Aku kan istrinya, bu. Bukan cuma bagian dari perabot rumah tangga yang hanya perlu ditengok sekali-sekali.” Aku masih kesal. Walaupun dalam hati aku membenarkan apa yang diucapkan Ibu.
Ya, selain sifat kurang romantisnya, sebenarnya apa kekurangan Aa’? Hampir tidak ada. Sebenarnya, ia berusaha sekuat tenaga untuk membahagiakanku dengan caranya sendiri. Ia selalu mendorongku untuk menambah ilmu dan memperluas wawasanku. Ia juga selalu menyemangatiku untuk lebih rajin beribadah dan selalu berbaik sangka kepada orang lain. Soal kesetiaan? Tidak diragukan. Diah satu kantor dengannya. Dan ia selalu bercerita denganku bagaimana Aa’ bersikap terhadap rekan-rekan wanitanya di kantor. Aa’ tidak pernah meladeni ajakan Anita yang tidak juga bosan menggoda dan mengajaknya kencan. Padahal kalau mau, dengan penampilannya yang selalu rapi dan cool seperti itu, tidak sulit buatnya menarik perhatian lawan jenis.
”Hen, kalau kamu merasa uring-uringan seperti itu, sebenarnya bukan Ridwan yang bermasalah. Persoalannya hanya satu, kamu kehilangan rasa syukur…” Ibu berkata tenang.
Aku memandang Ibu. Perkataan Ibu benar-benar menohokku. Ya, Ibu benar. Aku kehilangan rasa syukur. Bukankah baru dua minggu yang lalu aku membujuk Ranti, salah seorang sahabatku yang stres karena suaminya berselingkuh dengan wanita lain dan sangat kasar kepadanya? Bukankah aku yang mengajaknya ke dokter untuk mengobati memar yang ada di beberapa bagian tubuhnya karena dipukuli suaminya?
Pelan-pelan, rasa bersalah timbul dalam hatiku. Kalau memang aku ingin menghabiskan waktu dengannya hari ini, mengapa aku tidak mengatakannya jauh-jauh hari agar ia dapat mengatur jadualnya? Bukankah aku bisa mengingatkannya dengan manis bahwa aku ingin pergi dengannya berdua saja hari ini. Mengapa aku tidak mencoba mengatakan kepadanya, bahwa aku ingin ia bersikap lebih romantis? Bahwa aku merasa tersisih karena kesibukannya? Bahwa aku sebenarnya takut tidak lagi dicintai?
Aku segera pamit kepada Ibu. Aku bergegas pulang untuk membereskan rumah dan menyiapkan makan malam yang romantis di rumah. Aku tidak memberitahunya. Aku ingin membuat kejutan untuknya.
Makan malam sudah siap. Aku menyiapkan masakan kegemaran Aa’ lengkap dengan rangkaian mawar merah di meja makan. Jam tujuh malam, Aa’ belum pulang. Aku menunggu dengan sabar. Jam sembilan malam, aku hanya menerima smsnya. Maaf aku terlambat pulang. Tugasku belum selesai. Makanan di meja sudah dingin. Mataku sudah berat, tetapi aku tetap menunggunya di ruang tamu.
Aku terbangun dengan kaget. Ya Allah, aku tertidur. Kulirik jam dinding, jam 11 malam. Aku bangkit. Seikat mawar merah tergeletak di meja. Di sebelahnya, tergeletak kartu ucapan dan kotak perhiasan mungil. Aa’ tertidur pulas di karpet. Ia belum membuka dasi dan kaos kakinya.
Kuambil kartu ucapan itu dan kubuka. Sebait puisi membuatku tersenyum.
Aku ingin mencintaimu dengan sederhana
Lewat kata yang tak sempat disampaikan
Awan kepada air yang menjadikannya tiada
Aku ingin mencintaimu dengan sederhana
Dengan kata yang tak sempat diucapkan
Kayu kepada api yang menjadikannya abu. *